Selasa, 14 April 2009

SEPUTAR ADAT BATAK HADATUON

BAGI masyarakat Batak zaman Hadatuon dulu hadatuon adalah suatu ilmu yang dapat diajarkan dan dapat dipelajari oleh orang-orang tertentu yang memang memiliki kemampuan dan karunia khusus yang disebut sahala hadatuon. Hubungan belajar mengajar dalam tradisi masyarakat Batak tidaklah mempunyai struktur dan metode yang tetap dan terinci dan juga tidak berlangsung secara terbuka.

Proses penyampaian “ilmu”nya selalu bersifat isoteris, artinya dilakukan di luar lingkungan masyarakat serta bersifat tertutup di antara seorang ‘guru’ dan seorang ‘murid’. Proses pendidikan yang tertutup dan sangat khusus itu melahirkan satu jenis profesi dengan pengetahuan yang sangat eksklusif, sehingga tidak secara langsung mendapat posisi yang jelas dalam tatanan pendidikan tradisional yang bersifat publik dan terbuka. Datu dalam hal itu tidak berfungsi sebagai guru masyarakat seperti guru-guru lainnya. Namun demikian harus diakui bahwa sumbangan datu dalam “ilmu” pengetahuan Batak tradisional yang kemudian berkembang menjadi pendidikan modern setelah zending dan kolonial Belanda sangatlah besar.

Sebagaimana diketahui secara umum ada beberapa fungsi datu di tengah-tengah masyarakatnya, seperti pengobatan dan penyembuhan penyakit, sebagai imam dalam ritus keagamaan Batak, sebagai medium dalam memanggil serta berhubungan dengan rohroh nenek moyang tertentu dan sebagai peramal atau dukun tenung. Dengan demikian “ilmu” yang harus dikuasai oleh seorang datu adalah sangat luas dan keseluruhannya bersifat khusus. Proses penurun-alihan “ilmu” itu sendiri sudah merupakan rangkaian ritus yang unik dan dalam satu proses belajar mengajar hanya ada satu guru dan satu murid.

“Ilmu hadatuon” bersumber pada ‘Pustaha Agong’, sebuah buku laklak (kulit kayu) yang berisikan secara lengkap ilmu hadatuon. Secara mitologis, buku tersebut diwariskan oleh si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi datu dan datu guru pertama, mengajarkan ilmu hadatuon itu kepada anak-anaknya.

Menurut J Winkler, seperti dikutip oleh Aritonang, pada pokoknya ada tiga katagori isi pustaha berdasarkan maksud penggunaannya, pertama satu, ‘ilmu’ untuk memelihara kehidupan (protective magic) yang mencakupi diagnosa, terapi, ramuan obat-obatan yang bersifat magis, ajimat, parmanisan (pekasih) dan sebagainya.

Kedua, ‘ilmu’ untuk membinasakan kehidupan (destructive magic) yang mencakupi seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma (guna-guna pemikat cinta).

Ketiga, ‘ilmu’ meramal (divination) yang mencakup orakel (sabda dewata) yang menjelaskan kemauan roh yang dipanggil, perintah para ilah dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.

Semua itu dikembangkan sedemikian rupa dalam upacaraupacara magis dalam usaha berkomunikasi dengan kekuatankekuatan supranatural; roh leluhur, roh penghuni-penghuni alam (pangingani) serta roh-roh jahat.

Memang banyak pendapat yang mengatakan bahwa datu berfungsi sebagai imam dalam ritus keagamaan. Akan tetapi hal itu tidak selamanya benar. Sebab pelaksana fungsi imam dalam upacara adat bius adalah parbaringin, sedangkan dalam upacara adat huta dilaksanakan oleh raja huta atau pemangku adat dari marga yang menyelenggarakan upacara adat.

Meskipun para datu sudah melalui proses belajar yang relatif sama dan mendapatkan ‘ilmu’ dalam berbagai bidang, namun pada kenyataannya mereka mempunyai bidang spesialisasi tertentu; ada spesialisasi pengobatan, ada spesialisasi peramalan, ada spesialisasi permusuhan atau peperangan, ada spesialisasi pemahat patung-patung magis (datu panggana) dan lain-lain (JS Aritonang, 1988:69 dyb).

Tidak ada komentar: