Selasa, 14 April 2009

Perkawinan, batak, antar suku

Rekonstruksi “Tungku yang Tiga” dalam Perkawinan Antar Suku

Abstract
This essay focused on marriage from anthropology point of view. The writer take marriage between ethnic in batak toba’s case. The attention in focused on how to settled a man non batakness that has no family name into system of dalihan na tolu or tungku yang tiga. Dalihan na tolu are the wife’ family name, the husband’s family name, and all relatives with the sama family name. This three are the base of stucture relation of batk’s society.

Pengantar

Defenisi perkawinan menurut kamus antropologi [Ariono Suyono,1985] menekankan aspek gender dan kedewasaan, perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Defenisi yang lebih maju dapat dilihat dalam kamus istilah antropologi [Koentjaranigrat, Budhisantoso, Danandjaya, dkk, 1984:143] yang mendefenisikan perkawinan sebagai pranata hubugan antara seorang pria dan wanita, seorang pria dan beberapa orang wanita, beberapa orang pria dengan seorang wanita yang diresmikan dalam prosedur adat-istiadat, hukum atau agama dalam masyarakat yang bersangkutan dan yang karena itu mempunyai konsekuensi ekonomis, sosial, hukum, dan keagamaan bagi para individu yang bersangkutan, para kaum kerabat mereka dan kaum keturunan mereka. Keesing [1989:253] mendefenisikan perkawinan sebagai bentuk hubungan yang dilembagakan di mana secara sah terjadi hubungan seksual dan hubungan orang tua-anak. Defenisi Keesing dapat merangkum pengertian perkawinan sesama jenis yang tidak diperhatiakan dua defenisi sebelumnya. Perkawinan sesama jenis memang dianggap ganjil oleh sebahagian besar kebudayaan masyarakat di dunia. Tetapi dewasa ini kaum homo atau gay dan lesby semakin berani menunjukkan eksistensi mereka serta menuntut pengakuan perkawinan mereka dari otoritas agama dan negara.

Para antropolog telah cukup lama menyelidiki tema perkawinan dan bentuk-bentuknya, secara historis dan lintas budaya, perkawinan mempunyai banyak bentuk. Graham Allan menulis dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial [Adam Kuper & Jesica Kuper: 2000:611] bahwa studi-studi awal antropologi lebih menekankan pada aspek jural dengan penekanan persoalan penguasaan seksualitas, legitimasi anak-anak, stabilitas ekonomi rumah tangga, kendali dan perubahan kepemilikan harta.

Goode [1963] dan Stone [1979] seperti dikutip Kuper dan Kuper [2000], melihat kemunculan upah tenaga kerja telah secara efektif merusak penguasaan yang bisa didesakkan oleh kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar, terutama orang tua, terhadap perilaku generasi yang lebih muda. Jika kesejahteraan dan gaya hidup individual bergantung pada sumber-sumber daya yang dihasilkan lewat kepemilikan produktif yang dikuasai oleh kekerabatan lain, maka sistem perkawinan mencerminkan perhatian kolektif dari pada individual. Gidens [1992] lebih jauh melihat bahwa kondisi-kondisi sosial dan modernis akhir-akhir ini telah menyebabkan cinta dan keintiman lebih signifikan secara kultural lewat tindakan membebaskan ekspresi seksual dan reproduksi, dalam konteks inilah, secara historis kontemporer angka-angka perpisahan dan perceraian yang tinggi harus dipahami: semakin tinggi keintiman emosional dan pemenuhan individu dipandang sebagai kondisi esensial perkawinan, maka semakin kecil penerimaan terhadap hubungan yang tanpa didasari perasaan-perasaan seperti itu [dalam Kuper&Kuper 2000:611]. Kaum feminis cenderung melihat perkawinan selalu ditandai ketimpangan gender dimana istri mengambil peran domestik dan perawatan anak, hal ini menyebabkan wanita memperoleh penghasilan yang lebih kecil dari para pria. Dalam perspektif politik, dahulu perkawinan menandai suatu persekutuan kekuasaan, salah satu model dari aliansi kerajaan-kerajaan di nusantara. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, perkawinan digunakan untuk membentuk unit-unit sosial produksi.

Belum banyak diketahui [salah satunya karena keterbatasan literatur] kajian yang melihat perkawinan dari perpektif lintas budaya [cross-culture]. Kajian dari perpektif lintas budaya perlu digali lebih dalam untuk mengatahui apakah perkawinan dapat membuka tembok-tembok pembatas hubungan antar suku bangsa, khususnya di Indonesia. Artikel ini sedikit banyak memberikan perhatian tentang hal itu, bagaimana suku bangsa Batak yang patrilineal, patrilokal, patriaakat dalam mengintegrasikan suku bangsa lain dari proses perkawinan eksogam menjadi anggota kerabat [in group]. Ulasan tentang hal ini dimulai dengan memahami fungsi marga dalam kebudayaan orang Batak yaitu, dasar-dasar dari hubungan sosial yang terpenting dan struktur dasar masyarakat Batak.

Umpasa Batak mengatakan:
Jolo sinukkun marga asa binoto partuturon
Tanyakan dahulu marganya agar tahu hubungan kekerabatan

Marga
Marga melekat erat dalam hidup mati orang Batak. Segera setelah ia lahir, nama marganya akan menyertai nama pertamanya dan marga itu pulalah yang akan menjadi identitasnya sepanjang hidup. Maka, memalukan jika seorang Batak tidak dapat menyebutkan marganya, walaupun orang tersebut sudah lahir dan besar di perantauan atau bahkan di luar negeri. Orang seperti ini akan diejek dengan halak na lilu artinya orang yang tersesat, karena tidak mengetahui asal-usulnya.

Dilingkungannya, marga menjadi rujukan untuk menentukan hubungan kekerabatan. Bila ia bertemu dengan seseorang yang diduganya orang Batak, ia akan lebih tertarik dengan menanyakan marganya, karena itulah yang penting bagi orang Batak. Jika orang tersebut semarga dengannya, sikap umum yang diambil memperlakukan kenalan barunya itu seperti saudaranya sendiri: dongan tubu. Hal seperti itu bisa juga membelokkan suatu pertengkaran menjadi perdamaian lalu mnjadi persahabatan, ketika orang yang bertikai mengetahui bahwa mereka anggota satu marga. Hal ini masih berlaku juga untuk anggota dari cabang marga yang sama. Tetapi jika dengan marga lain, hubungan kekerabatan dapat ditelusuri dari hubungan perkawinan yang pernah berlangsung diantara anggota-anggkota marga mereka, lebih khusus lagi jika ada perkwinan diantara anggota kelompok marga mereka.

Orang tua sedapat mungkin mengajarkan kepada generasinya agar mengetahui silsilah marganya. Hal seperti itu selalu ditekankan, maka seorang anak Batak dapat menyebutkan dengan lancar 3 generasi ke atasnya bahkan dapat dengan mudah menyebutkan urutan generasinya dalam marga. Penulis sendiri adalah generasi ke 14 dari marga siagian dan generasi ke 15 dari marga panjaitan, yaitu marga ibu penulis. Ketika ingin menikah, marga jugalah yang menjadi rujukan, sebab tabu bagi anggota-anggota semarga kawin mengawini. Jika hal itu sampai terjadi hukumannya adalah pengucilan. Pengucilan dengan cara diusir membawa akibat kehilangan martabat, kehilangan hak atas tanah marga, dan dijauhi oleh anggota-anggota semarga. Mereka akan malu berhubungan dengan orang seperti itu.

Seseorang tidak bisa menukar marganya menurut seleranya, karena marga adalah identitas terberikan. Jika seseorang mengganti marganya, cukup mudah untuk diketahui, sebab anggota-anggota semarga secara berkala memperteguh persekutuan mereka dengan pesta makan bersama, menari dalam iringan musik gondang. Pesta-pesta perjamuan bersama itu baik untuk tujuan kelahiran, perkawinan, dan kematian, juga disertai pertukaran jasa atau pertukaran barang. Jika ada yang meninggal dunia, pemakamannya akan diurus anggota-anggota semarga dan dikuburkan dipemakaman marganya. Jika seorang Batak meninggal diperantaun, biasanya akan diberitahukan pada orang yang diketahui semarga dengannya dan adalah kewajiban baginya untuk untuk mengurus jenazah itu.

Menurut defenisinya, marga adalah kesatuan sosial genealogis (Ariyono Suyono, 1985:240), kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang memiliki kakek bersama, atau percaya bahwa mereka adalah keturunan dari kakek bersama [Edward Bruner,1999:159]. Di daerah asalnya orang Batak membedakan dirinya dengan the others menurut marga. Tetapi di luar lingkungan tempat tinggalnya, seperti di perkotaan yang suku bangsa atau kelompok-kelompok sosialnya heterogen, orang Batak mengembangkan kategori sosial baru berdasarkan “kerabat” dan “bukan kerabat” [Edward Bruner, 1999]. Menurut Bruner, kategori sosial ini dikembangkan orang Batak ketika mereka bermigrasi ke kota Medan beberapa dekade yang lalu. Yang dimaksud dengan ”kerabat” adalah kategori sosial bagi anggota-anggota semarga atau sesuku, sedangkan “bukan kerabat” adalah kategori sosial untuk orang-orang bukan semarga atau sesuku. Fenomena seperti ini umum dilakukan suku bangsa di Indonesia untuk memberi batas-batas sosialnya dengan orang lain.

Pada abad yang lalu, orang Batak telah menciptakan kategori sosial untuk bangsa asing yang tinggal di tanah Batak, mereka adalah pengawai pemerintah Hindia Belanda dan para misionaris. Bangsa asing ini disebut si bottar mata (si mata putih atau bangsa kulit putih), tanpa membedakan kewarganegaraannya. Nommensen yang Jerman dan Yves yang Belanda sama saja bagi orang Batak: mereka adalah si bottar mata. Ketika Nommensen mengijil di tanah Batak, ia menemukan kesukaran dalam menyatukan marga dalam satu persekutuan gereja, karena masing-masing marga menuntut didirikan gereja untuk mereka sendiri. Masing-masing marga juga menuntut pendeta zendingnya masing-masing. Demikian Lother Schreiner [1999:46] mengutip Nommensen:

“Dengan adanya pos huta dame-pearaja, maka ditariklah marga-marga lumbantobing dan hutagalung, pos sipoholon untuk marga-marga simanungkalit, situmeang dan hutauruk, dan pos simarangkir untuk marga simorangkir dan hutabarat”

Karena begitu pentingnya peranan marga dalam hubungan sosial dan dalam usaha pengkristenan di tanah Batak, maka semua pendirian gereja pada awalnya didasarkan pada peta susunan marga-marga.

Sudah begitu banyak hal yang berubah dalam budaya Batak, tetapi marga tidak mengalami pergeseran fungsinya. Dahulu, huta [kampung, desa] dinamakan berdasarkan nama marga pendirinya, berikut dengan sumberdaya dilingkungan itu; tanah, hutan, atau danau, disebutkan berdasarkan marga. Maka ada dikenal nama tao silalahi [danau silalahi], desa Silaen [sekarang ibu kota kecamatan] di Kabupaten Toba Samosir. Dewasa ini marga juga dipakai sebagai instrumen ekonomi-politik. Seseorang yang ingin tampil sebagai kepala pemerintahan akan mengkonsolidasikan anggota-anggota marganya sebagai basis pemilih atau mesin politiknya. Hal ini akan berlanjut setelah yang bersangkutan menjadi, katakanlah seorang gubernur. Sang gubernur akan memberikan konsesi-konsesi ekonomi pada anggota marganya dan merekrut pegawai negeri dari anggota-anggota semarga. Maka terkenal sebutan di Sumatera Utara ‘Batak berekor’.

Masuknya marga dalam ranah politik dapat disimak dari judul berita ini “Penobatan Syamsul Arifin Sebagai Raja Batak Diprotes Keras”[Sinar Indonesia Baru, 22 November, 2004] disebutkan dalam isi berita, calon gubernur Sumatera Utara tersebut, yang bukan Batak, dikukuhkan menjadi raja Batak supaya didukung orang Batak sebagai gubernur.
Profesor Usman Pelly [1994] yang menulis disertasi tentang urbanisasi dan adaptasi di kota Medan, melihat bahwa ikatan-ikatan primordial seperti atas dasar marga atau suku bangsa tetap dilestarikan dalam bentuk pemukiman bersama dan pola persebaran penduduk. Hal ini juga mencerminkan batas-batas sosial antar suku bangsa di Medan. Narrol, seperti dikutip Koenjaranigrat [2000:330] menyebutkan bahwa batas-batas sosial budaya pada prinsipnya dapat dilihat berdasarkan [i] kesatuan masyarakat bersarkan desa atau lebih [ii] kesatuan masyarakat berdasarkan bahasa atau logat bahasa [iii] kesatuan masyarakat berdasarkan daerah politik-administratif [iv] kesatuan masyarakat yang batasannya rasa identitas penduduk itu sendiri [v] kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh wilayah geografis [vi] kesatuan masyarakat berdasarkan pengalaman sejarah yang sama [vii] kesatuan masyarakat berdasarkan ekologi [viii] kesatuan masyarakat berdasarkan frekuensi interaksi dan [ix] kesatuan masyarakat berdasarkan susunan yang seragam.

Tungku yang Tiga [dalihan na tolu]

Kembali ke soal marga, persekutuan marga yang terbentuk karena perkawinan merupakan dasar dari struktur sosial batak yang disebut “tungku yang tiga” atau dalihan na tolu. Dalihan na tolu pada dasarnya berarti tungku [tataring] yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu diperlukan untuk menopang periuk atau wajan agar tidak terguling. Itulah analogi yang mendasari hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan yaitu, anggota-anggota semarga [dongan tubu] pihak pemberi istri [hula-hula] dan pihak penerima istri [boru]. Hubungan itu diikat oleh filsafat-norma yang mengatakan manat mardongan tubu, somba marhula-hula dan elek marboru. Apa artinya?

Manat mardongan tubu secara harfiah berarti berhati-hati memperlakukan –anggota-anggota semarga. Di kampung-kampung tradisional orang Batak [Tananuli] penduduk dihuni oleh anggota-anggota semarga [dongan tubu], inilah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu ditekankan untuk harus memperlakukan anggota-anggota semarga dengan hati-hati [manat]. Kehati-hatian pada dasarnya bentuk lain dari saling sikap hormat. Filsafat ini mengingatkan bahwa kehati-hatian sering hilang karena justru merasa terlalu dekat atau akrab. Untuk hal ini, ada ungkapan adat mengakatan ‘batang pohon yang dekatlah yang bergesekan’ [hau na jonok do na masionsosan].

Elek marboru secara harfiah berarti, dengan penerima istri [boru] harus dibujuk. Boru adalah penopang dan penyokong pekerjaan-pekerjaan sehari-hari dan dalam pesta-pesta adat mereka mengurus dapur serta menyiapkan hidangan pesta tamu pihak hula-hula-nya. Oleh karena itu hula-hula haruslah senantiasa memperlakukan mereka dengan ramah-tamah dan lemah lembut agar mereka tidak sakit hati atau merajuk, jika mereka sakit hati adalah kewajiban hula-hula untuk membujuk dan membesarkan hati boru-nya.

Somba marhula-hula secara harfiah berarti dengan hula-hula harus sembah [somba]. Bagi boru, hula-hula adalah matahari terbitnya, sumber berkat dan kesejahteraan. Ada kewajiban bagi hula-hula untuk memberikan harta benda seperti sawah dan tanah sebagai dasar kehidupan boru-nya.

Dengan demikian tiga pihak memelihara hubungan mereka dengan saling memberi dalam berbagai bentuknya. Ungkapan adat mengatakan ‘saling berbalas adalah hukum, saling berbagi adalah kekuatan’ [sisoli-soli do uhum siadapari gogo]. Prinsip resiprositas ini bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan keadilan bersama [Daniel Harahap, 2007]. Hukum bagi yang tidak mematuhi kewajiban-kewajiban masing-masing pihak ini diungkapkan dalam umpama berikut:

angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna
pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah
molo so manat mardongan tubu, natajom ma adopanna
pihak yang tidak menghormati anggota-anggota semarga akan mengahapi pisau tajam
jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna
yang tidak menhormati boru mendapat malu dan pergunjingan

Dalam kedudukan sosial, anggota-anggota semarga memiliki kedudukan yang sejajar [pararel] sementara boru kedudukannya lebih rendah dari hula-hula-nya [dalam hal ini termasuk pada anggota marga dari pihak pemberi istri].

Struktur ini akan berubah jika anggota marga hula-hula mengambil istri dari anggota marga boru, maka boru akan menduduki posisi hula-hula dan hula-hula menempati posisi boru. Perkawinan seperti itu diperbolehkan asalkan di luar dari dua kelurga marga yang terbentuk sebelumnya atau perkawinan itu tidak boleh terjadi antara saudara langsung pihak istri dengan saudara langsung pihak suami, melainkan dari keluarga luas mereka.
Dalam sitem sistem sapaan [partuturon] laki-laki yang berposisi sebagai boru memanggil mertua laki-lakinya atau hula-hula-nya dengan amang dan inang untuk mertua perempuannya. Sementara mertua memanggil menatunya dengan sapaan hela. Anggota-anggota semarga menyapa teman-temannya dengan ale-ale. Dalam sistem sapaan yang lebih luas dapat dilihat dalam tipologi Murdock berikut:

GrFa: ompung doli
GrMo: ompung boru
Fa : amang
Mo : inang
FaElBr: amang tua
FaYoSi: amang uda
FaSi: namboru
MoEiSi: inang tua
MoYoSi: inang uda
MoBr : tulang
ElSi: angkang
YoBr: anggi
Si: ito
FaElBrSo: angkang
FaYoBrSo: anggi
FaBrDa: ito
MoBrSo: lae

Perkawinan eksogam suku bangsa

Pada masyarakat perkotaan heterogenitas turut membawa implikasi perkawinan antar suku bangsa. Studi yang dilakukan Parluhutan Siregar [tanpa tahun] di pinggiran kota Medan menyebutkan sekitar 65% warga etnis Melayu menikah dengan warga etnis Jawa, demikian juga orang-orang Mandailing/Batak Angkola, baik generasi awal maupun belakangan. Perkawinan antara warga Jawa dan Batak Toba sering juga terjadi, perbedaan agama antara kedua calon mempelai, biasanya mereka diselesaikan dengan cara [salah satunya] pindah agama, sedangkan penyelesaian adat-istiadat diatur berdasar kesepakatan keluarga kedua belas pihak. Biasanya, penyelesaian adat-istiadat perkawinan mengikut pada tradisi pihak mempelai perempuan. Jika pemuda Jawa mempersunting gadis Batak, maka adat-istiadatnya biasanya mengikut tradisi Batak .

Penelitian sejenis yang dilakukan di kota Jakarta[i], Medan dan Bandung, menunjukkan persentase generasi muda Batak untuk menikah dengan suku bangsa lain cukup besar. Untuk kasus orang Batak yang beragama Islam di Jakarta, Medan, dan Bandung pada pertengahan tahun 1982 membuktikan, 51.11% responden menyatakan setuju putra mereka menikah dengan gadis non-Batak dengan syarat harus beragama Islam, sedangkan 48.33% menyatakan setuju anak gadis mereka menikah dengan pemuda suku bangsa lain dengan syarat yang sama. Pilihan kedua adalah menikahkan anak atau boru dengan sesama orang Islam yang berasal dari bona bulu. Sejumlah 21.67% menyatakan ingin menikahkan putranya dengan gadis Batak dan 30.56% ingin menikahkan anak gadisnya dengan pemuda Batak. Hal ini semakin terasa tidak dipersoalkan orang, karena penerima marga itu sendiri secara nyata tidak pernah menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hukum waris. Marga itu baru dipakainya ketika dalam upacara adat yang melibatkan kerabat-kerabat isterinya.

Masuknya marga lain menjadi anggota kerabat lebih mudah terintegrasi pada pondasi sistem sosial orang Batak. Pada kasus berbeda, dimana seorang ego menikah dengan laki-laki di luar sukunya yang tidak memiliki marga, hal ini mengandung kerumitan tersendiri. Cara yang ditempuh adalah dengan mengangkat calon menatu tersebut menjadi anak dari salah satu kerabat dan memberinya marga. Marga yang diberikan umunya adalah marga dari pihak-pihak ipar orangtua perempuan. Mengikuti model perkawinan yang disukai orang Batak yaitu, menikahkan anaknya dengan anak laki-laki saudara peremapuannya atau disebut menikah dengan paribannya.

Suku-suku bangsa tertentu, seperti halnya orang Batak, memperhatikan pentingnya memelihara hubungan-hubungan mereka dengan keluarga-keluarga terdekat, dalam konteks perkawinan, motif dari tindakan itu adalah agar perputaran harta benda tidak keluar dari lingkungan yang mereka pelihara. Seperti telah disinggung di atas, perkawinan membawa impliksasi pada sistem pertukaran diantara pihak pemberi istri, pihak penerima istri, dan antara pihak-pihak semarga. Model ini juga menjadi acuan bagi semua perkawinan Batak, termasuk dalam perkawinan antar suku bangsa.

Jika laki-laki Batak menikah dengan perempuan dari suku bangsa lain, katakanlah orang Jawa, ia tidak akan kehilangan marganya, sebab sistem kekerabatan orang Jawa yang bilateral dapat saling menyesuaikan dengan sitem pratrilineal. Anak yang lahir dari perkawinan itu biasanya akan memakai marga bapaknya atau memakai nama trah dari pihak ibunya. Tetapi jika perempuan Batak menikah dengan orang Jawa, biasanya pihak perempuan menuntut pesta pernikahan diadakan dengan cara Batak. Mengapa? Untuk mendudukkan posisi menantu dalam sistem kekerabatan orang Batak yang menyertai juga sistem pemanggilan atas kerabat-kerabat luas kedua belalah pihak, proses inilah yang dimaksudkan dengan merekontruksi “tungku yang tiga”.

Proses pemberian marga

Dahulu, pemilikan marga dapat juga timbul dari prakarsa raja huta untuk menganugerahkan marga kepada seseorang karena jasa-jasanya yang luar biasa kepada masyarakat huta itu. Orang-orang yang memperoleh marga dengan cara seperti ini ada yang terus menurunkan marganya kepada anak cucunya, tetapi ada yang hanya sampai pada dirinya saja. Selain itu dapat juga diberikan kepada seorang tokoh yang telah lama hidup dalam lingkungan masyarakat Batak dan melakukan tugas-tugas kemasyarakatan dalihan na tolu. Orang asing yang pernah menerima pemberian marga ini antara lain Prof. Dr. Susan Rodgers, mahaguru sosiologi dan antropologi dari Amerika Serikat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef yang diberi marga Nasution oleh masyarakat adat Mandailing dengan gelar Sutan Iskandar Muda, untuk jasa-jasanya yang besar dalam memajukan pendidikan pada umumnya, dan khususnya pembangunan SMA Negeri Tanobato di bekas pertapakan Kweek school voor Inlandsche Onderwijzers yang didirikan oleh Willem Iskander pada tahun 1862. Menteri Pariwisata Indonesia, Jero Wacik juga diberitakan memperoleh marga dalam sebuah pesta bolon [pesta besar] di Samosir pada 3 Juli 2007 [Sinar Indonesia Baru, 3 Juli 2007]
Dalam konteks perkawinan, proses pemberian marga disertai dengan pesta perjamuan makan bersama. Penyelenggaranya adalah salah satu dari marga ipar orangtua perempuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pesta bertujuan untuk mengesahkan si laki-laki menjadi anak dari salah satu saudara perempuan orangtua perempuan dan meresmikan marga yang bakal disandang si laki-laki menurut marga orang tua angkatnya itu. Dengan demikian si laki-laki menjadi anggota dari kelompok klan marga orang tua angkatnya. Jika didudukkan dalam sistem dalihan na tolu, si laki-laki akan menjadi pihak boru, sama seperti status yang disandang oleh orangtua angkatnya. Dalam kedudukannya yang demikian, sistem pertukaran barang antara boru, dongan tubu dan hulu-hula telah berfungsi. Hal ini akan terlihat dalam pembagian ‘makanan yang memiliki nama’ [tudu-tudu ni sipanganon atau jambar], uang, dan kain [ulos] dimana masing-masing barang yang dipertukarkan memiliki makna-makna khusus. Barang-barang itu dipertukarkan sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing. Perlu ditambahkan bahwa masing-masing pihak harus menerima makanan dan barang yang tepat menurut kedudukannya sehingga peyelenggara pesta akan menghitung dengan rinci atau memberikan makanan dan barang yang diperlukan secara cermat. Kesalahan dalam menentukan bagian dari binatang kurban dan barang misalnya, akan mendatangkan pertengkaran diantara mereka, hal seperti itu dimaknai oleh mereka sebagai tindakan yang tidak memperlakukan seseorang secara layak menurut kedudukannya. Maka sering gara-gara sepotong daging keseimbangan hubungan persekutuan marga terganggu, sampai hal itu kemudian diperbaiki.

Perkawinan
Umumnya rangkaian perkawinan terdiri dari marhusip [berbisik] yaitu acara adat untuk penjajakan awal mengenai jumlah mahar yang akan diterima oleh pihak istri. Dilanjutkan dengan pembicaraan penetapan jumlah mahar [marhata sinamot] dan marunjuk pesta perkawinan dengan adat penuh. Ketika perkawinan berlangsung, secara simbolik si laki-laki telah menjadi orang Batak, orangtua kandungnya bersama orang tua angkatnya menduduki status boru. Anggota-anggota kerabat orang tua angkatnya disebut tutur [famili]. Pesta pernikahan akan berlansung seperti halnya bentuk pernikahan antar marga. Karena dilakukan dengan cara Batak, maka orang tua angkatlah yang lebih tampak dalam pernikahan itu. Kepadanya pulahlah semua makanan dan barang-barang yang bernilai adat diserahkan/diwakilkan menurut kedudukannya.

Proses pernikahan orang Batak tidak lepas dari agama. Acara-acara permulaan biasanya dilakukan dengan cara agama, maka penting untuk kedua belah pihak supaya menyelesaikan masalah perbedaan agama terlebih dahulu. Dalam kasus Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen, laki-laki diberkati dengan cara Kristen, hal itu berarti, jika agama kedua belah pihak berbeda, dan laki-laki menyetujui perkawinan dengan cara Batak, laki-laki harus berpindah agama, atau jika dilakukan dengan cara Islam, maka makanan yang dihidangkan adalah makanan yang menghormati agama Islam, suatu tempat khusus biasanya disediakan untuk orang-orang yang tabu memakan babi. Mereka ini disediakan makanan yang layak dan ditempatkan secara khusus di tempat yang disebut ‘tempat duduk orang-orang berpantang’ [hundulan ni parsubang]. Parsubang adalah golongan orang yang tabu memakan babi atau makanan bercampur darah. Agama tradisional Batak parmalim adalah salah satu golongan yang disebut parsubang. Hewan yang sembelih untuk hidangan mereka biasanya dipotong dengan cara mereka sendiri, dan dilakukan oleh salah satu dari mereka atas undangan penyelenggara pesta.

Acara puncak merupakan prosesi pemberian makanan, uang, dan barang [ulos] menurut kedudukan tiga pihak dalam pesta. Sebuah daftar nama telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk itu, dan nama-nama itu akan umumkan dengan pengeras suara satu per satu pada saat nama mereka disebutkan protokol. Eksekusi pemberian ulos dan uang akan disertai dengan meminta musik gondang. Musik biasanya dibunyikan selaras dengan tema-tema nasehat atau umpama dan umpasa dari para pembicara dan hal itu dilakukan sambil menari [manortor]. Proses yang demikian akan terus berlangsung sampai nama-nama yang tercantum dalam daftar habis disebutkan satu persatu.

Pesta juga menjadi media untuk men-display kekayaan dan hal itu dilakukan secara mencolok guna menunjukkan kedudukan ekonominya. Hal dinilai wajar untuk menunjukkan kesuksesan pada tempatnya. Kekayaan adalah salah satu misi budaya Batak, disamping mencapai hasangapon [jabatan], dan hagabeon [keturunan]. Pada dasarnya semua usaha orang Batak dalam hidupnya didorong untuk mencapai tiga hal itu. Paling tidak orang Batak harus mencapi hagabeon atau memiliki keturunan laki-laki. Kemewahan suatu pesta perkawinan tergambar dari berapa mahar [boli] yang diterima keluarga pihak istri, berapa banyak bintang yang disembelih, berapa jumlah orang yang diundang, berapa macam musik yang mengiringi pesta, berapa ulos yang diberikan, dan apakah semua undangan mendapat makanan yang cukup. Bahkan jumlah mahar yang diterima keluarga pihak istri yang telah disepakati sebelumnya dalam acara adat yang disebut ‘berbisik’ [marhusip] akan diumumkan lagi dalam pesta.

Proses akhir acara perkawinan diakhiri dengan paulak une. Paulak une adalah sejumlah barang yang diserahkan ke pihak mempelai. Dahulu hal itu dilakukan setelah perkawinan berlangsung beberapa bulan melalui kunjungan kelurga pihak perempuan ke rumah keluarga laki-laki. Kunjungan seperti ini juga dimaksudkan untuk mencari berita apakah anaknya sudah mengandung.

Penutup

Kekerabatan dalihan na tolu pada hakikatnya merupakan sistem kekerabatan yang berwawasan kebangsaan. Semangat kebangsaan inilah yang membenarkan pemberian marga kepada orang-orang yang bukan orang Batak. Hal itu juga berarti membuka jalan untuk memperluas jaringan sosial dan cara orang Batak untuk mengapresiasi suku bangsa lain.
Pintu insklusifitas juga terbuka lewat perkawinan yang eksogam suku, dalam pengertian Batak itu berarti ‘menambah saudara’ [manambi tutur]. Mengacu pada tipe perkawinan ini dapat disimpulkan bahwa, perkawinan antar suku dapat mengintegrasikan individu dalam budaya Batak, baik melalui perkawinan laki-laki Batak dengan perempuan suku bangsa lain, maupun melalui perkawinan perempuan Batak dengan laki-laki suku lain.

Daftar Pustaka:

Bruner, Edward, 1999, “Kerabat dan Bukan Kerabat”dalam Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (ed) T.O Ihromi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Harahap, Daniel, 2007, Dalihan NaTolu, www.danielharahap.blogs.friendster.com

Keesing, M. Roger, 1989, Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer, Jakarta, Penerbit Erlangga

Kuper, Adam & Kuper, Jesica, 2000, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta, PT Raja Grasindo Persada

Koentjaranigrat, 2000, Pengantar Antropologi, Jakarta, Rineka Cipta

Koentjaranigrat, Budhisantoso, Danandjaya, dkk, 1984, Kamus Istilah Antropologi, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Kebudayaan

Lebar, Frank [ed], “Etnic Groups of Insular Southeast Asia’, 1972, New Heaven, Human Relation Area Files.

Pelly, Usman, 1994, Ubanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta,LP3ES

Sinar Indonesia Baru, 23 November 2004, “Penobatan Syamsul Arifin Sebagai Raja Batak Diprotes Keras”.

Sinar Indonesia Baru, 3 Juli 2007, “Sarana Memajukan Pariwisata Samosir”.

Schreiner, Lothar, 1999, Adat dan Injil, Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta, PT BPK Gunung Mulia

Suyono, Ariyono, 1985, Kamus Antropologi, Jakarta, Akademika Presindo

Anonim, Mangalehen Marga (Pemberian Marga), www.batakonline.com

[i] Lihat, www. batakonline.com, Mangalehen Marga ( Pemberian Marga),

Tidak ada komentar: