Rabu, 29 April 2009

DINASTI-DINASTI KERAJAAN BATAK

Dalam peradaban Batak yang telah eksis dan terstruktur sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Yesus, terdapat beberapa dinasti yang turut serta dalam memperkaya khazanah sejarah bangsa Batak
Berikut adalah dinasti-dinasti tersebut yang membangun peradaban Batak.

DINASTI SAGALA (SORIMANGARAJA)

1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala. Sudah Masuk Islam

Dinasti ini berdiri di pusat tanah Batak, Sianjur Sagala Limbong Mulana sejak berabad-abad sebelum masehi dan kemudian berkembang di tanah Batak selatan atau Mandailing, Angkola dan Natal.

Pada fase 1000 SM – 1510 M, dari ibukotanya di Sianjur Sagala Limbong Mulana, dinasti Sorimangaraja memerintah selama 90 generasi dalam sebuah bentuk kerajaan teokrasi. Rajanya bergelar Datu Nabolon atau Supreme Witch Doctor.

Dinasti ini pernah mengalami guncangan politik dalam negeri yang hebat saat pihak komunitas Batak di Simalungun memisahkan diri pada tahun antara 600-1200 M dan mendirikan Kerajaan Nagur yang menjadi fondasi terhadap kesultanan Islam di tanah Batak perbatasan Aceh dan di Aceh sendiri.

Melihat luasnya cakupan kerajaan ini, kalangan komunitas Batak di tanah karo akhirnya memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan kerajaan Haru Wampu. Pemisahan diri tersebut juga berakibat kepada pemisahan sistem sosial dan identitas.

Pada tahun 1510, pemerintahan Sorimangaraja XC dikudeta oleh orang-orang marga Si Manullang. Informasi ini didapat dengan menganalisa legenda dan cerita rakyat di Kerajaan Dolok Silo di Simalungun yang menyebutkan bahwa Dinasti Sorimangaraja dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang hanya dua tahun paska kemenangan Sultan Aceh yang pertama dalam mengalahkan Raja Haru Wampu yang keempatbelas.

Dalam peristiwa tersebut, atas perintah Sultan Ali Mughayat Syah, Panglima Manang Sukka (Seorang Batak Karo) merebut daerah Haru Wampu pada tahun 914 H atau 1508 M. Banyak kisah dan sejarah Batak yang sangat kaya tersebut tidak dilengkapi dengan tarikh dan penanggalan yang jelas. Namun karena kejadian-kejadian tersebut selalu berhubungan dengan kesultan dan kerajaan-kerajaan Aceh, yang sudah banyak tenaga ahlinya menuliskan sejarah yang bertanggal, maka sangat mudah untuk memastikan tahun-tahun kejadian di kerajaan Batak tersebut.

Orang-orang marga Simanullang sempat berkuasa di tanah Batak pada tahun 1510-1550 M, Namun akhirnya kekuasaan mereka redup dan digantikan oleh Dinasti Sisingamangaraja. Kekuasaan orang-orang marga Simanullang direbut oleh seorang Datu marga Sinambela.

Dinasti Sisingamangaraja sendiri memerintah percis dalam tahun-tahun yang sama dengan pemerintahan Dinasti Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1904 M). Oleh sebab itu, terdapat banyak angka-angka tahun di dalam tarikh hijriah perihal raja-raja Sisingamaraja ada di dalam buku-buku hikayat perang Aceh. Raja-raja Sisingamangaraja sendiri selalu menuliskan penanggalan mereka dalam tarikh hijriyah. Misalnya, stempel kerajaan yang bertanggal hijriyah.

Saat kejatuhan dinasti Sorimangaraja, mereka kemudian pindah ke tanah Batak Selatan. Di sana mereka berusaha untuk menampilkan kembali kejayaan mereka yang dulu. Mereka sangat disegani oleh raja-raja lokal di Tapanuli Selatan sekarang ini.

Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI (101). Dia migrasi ke selatan melewati tanah Batak yang aman dalam kekuasaan Dinasti Hatorusan (Pasaribu) dan Dinasti Pardosi.

Raja Soambaton diikuti oleh dua orang pengawal pribadinya; Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon. Di daerah ini Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon dalam sebuah perayaan Tabut Hassan Hussein memeluk agama Islam dan keduanya menikah dengan putri-putri Batak Syiah di teluk Sibolga.

Keduanya membangun kampung-kampung komunitas Batak di Teluk Sibolga dalam bentuk masyarakat maritim. Mereka banyak menjadi pelaut dan bekerja pada kapal-kapal musafir asing yang singgah di daerah tersebut. Komunitas mereka ini berkembang sampai ke daerah Ujung Karang yang sekarang bernama Padang. Orang-orang Batak yang berasal dari Humbang, Toba dan Silindung ini saat itu menganut agama Islam mazhab syiah karmatiyah lengkap dengan perayaan Tabuik-nya (Tabuk Hassan Hussein).

Raja Soambaton sendiri memilih untuk meneruskan perjalanannya ke Sipirok melalui Batangtoru dan Marancar. Di sana dia berkesempatan menjadi seorang Ahli Hujur Panaluan dalam tradisi perayaan ritual Upacara Gajah Lumpat. Berkat posisinya tersebut dia akhirnya diangkat menjadi Datu Nahurnuk oleh penduduk lokal di Sipirok yang kebanyakan bermarga Siregar.

Dia kemudian membangun singgasananya di Sampean, di atas bukit Dolok Pamelean di bawah pohon Bona Ni Asar. Dia resmi diakui oleh raja-raja lokal di Sipirok menjadi Sorimangaraja yang ke-91. Pasar Sipirok dan Dolok Pamelean menjadi pusat pemerintahan yang ramai.

Pada tahun 1816, Sorimangaraja CI (ke-101) menjadi pemeluk agama Islam dengan ajakan Raja Gadumbang. Dia mengucapkan syahadat dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala. Pada tahun 1834, hegemoni raja-raja Batak yang menjadi kaum adat mendapat tantangan dari kaum Padri yang berasal dari Sumatera Barat.

Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Sejarah Batak pada tahap ini seakan berhenti dengan intrusi orang-orang Eropa; Inggris dan Belanda.

Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist. Paska kemerdekaan RI, orang-orang marga Sagala yang kristen yang jumlahnya sedikit hidup dengan aman penuh toleransi dari saudara-saudara mereka di Sipirok, tepatnya di kampung Sampean yang praktis seluruhnya beragama Islam.


DINASTI PASARIBU (HATORUSAN)

Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir di tanah Batak bagian selatan (Tapsel), maka Dinati Hatorusan ini berakhir di Barus, atau tanah Batak bagian barat.
Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus. Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur.
Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an, tidak terdokumentasi dalam penanggalan yang jelas. Namun secara umum, dia memiliki beberapa keturunan, yang sempat diketahui namanya. Namun mungkin saja antara satu nama dengan nama yang lain berjarak puluhan sampai ratusan tahun.
Karena kerajaan Hatorusan selalu hilang dan muncul kembali sesuai dengan percaturan politik.
1. Datu Pejel gelar Raja Uti II
2. Ratu Pejel III
3. Borsak Maruhum.
4. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
5. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
6. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.
Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah. Ekspansi kerajaan telah meluas sampai ke beberapa wilayah di Aceh. Raja Uti VII diceritakan memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayahnya di bagian utara yang sekarang masuk kedalam pesisir Aceh.

Tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota kerajaan. Namun diduga bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri.

Sang Raja VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang datu bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Ketika Portugis pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima Mahkuta memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Selain mendapat serangan dari pihak luar, kerajaan juga mendapat pemberontakan di dalam negeri.
Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak tersebut. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Kerajaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Mahkuta alias Manghuntal mendirikan Dinasti Sinambela (Sisingamangaraja) di Bakkara.
Sementara itu, komunitas Pasaribu di Barus, para keturunanan Raja Uti, meneruskan hegemoni Dinasti Pasaribu dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan di Barus Hilir. Ada pendapat sejarah yang mengatakan bahwa Sultan Ibrahimsyah Pasaribu adalah orang yang memberi kekuasaan kepada Manghuntal, Mahkuta, untuk mendirikan kerajaannya di Bakkara. Dengan demikian dialah yang bergelar Raja Uti VII tersebut (?).
Selain nama-nama di atas, berikut adalah nama-nama Dinasti Hatorusan berikutnya:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.

DINASTI PARDOSI (POHAN)

Dinasti yang memerintah di Barus Hulu yang mencakup beberapa daerah tanah Batak bagian barat termasuk Negeri Rambe (Pakkat). Didirikan oleh Raja Alang Pardosi dengan penahunan yang tidak jelas namun diyakini berdiri sejak awal-awal berdirinya kerajaan si Raja Batak di Tanah Batak, yakni lebih kurang tahun 1000 SM.

1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
n Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)

Sumber: Naskah Jawi yang dialihtuliskan dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
Kisah dalam buku tersebut dimulai dengan kata-kata “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan .” Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian dan dalam kisah itu tercatat bahwa anaknya, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan jantung tanah Toba untuk merantau.
Alang Pardosi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya; bersama istri dan pengikutnya dia berjalan ke barat. Dalam sepuluh halaman pertama diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardosi yang gagah berani, tanah yang dinyatakannya sebagai haknya di rantau, jaringan pemukiman baru yang didirikannya, dan perbenturannya dengan kelompok perantau lain dari Toba.
Alang Pardosi mengklaim hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari Kampung Tundang di Rambe (Pakkat sekarang), tempat ia menetap, ke barat sampai Singkil, ke timur sampai perbatasan Pasaribu, ke hilir sampai ke tepi laut. Termasuk di dalamnya Barus.
Keluarga yang berselisih dengan Alang Pardosi adalah keluarga Si Namora. Si Namorapun telah meninggalkan rumahnya di Dolok Sanggul sebagai akibat percekcokan dalam keluarga. Bersama istrinya dia menetap di Pakkat, dan Alang Pardosi, Sang Raja, menyadari kehadirannya ketika pada suatu hari dilihatnya sebatang kayu yang mengapung di sungai. Raja memungut upeti dari Si Namora sesuai dengan adat berupa kepala ikan atau binatang apapun yang dapat dibunuh Si Namora.
Si Namora berputera tiga orang yang beristrikan ketiga puteri Alang Pardosi. Akhirnya yang sulung dari ketiga putera Si Namora yaitu Si Purba, mengambil keputusan untuk mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi dan penerima upeti. Maksudnya itu dilaksanakan dengan mengakali Pardosi.
Untuk itu dia harus kembali ke kampung ayahnya di Toba; dia harus mengumpulkan kekayaan keluarga berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Purba membuatkan patung seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya dan kepalanya dipersembahkan kepada Pardosi sebagai Upeti. Alang Pardosi begitu takut melihat persembahan tersebut dan membebaskan keluarga Si Purba dari ikatan memberi upeti.
Setelah Alang Pardosi diperdaya, dia mencium adanya gugatan mengenai kedudukannya sebagai raja. Perang meletus dan si Purba memakai penghianatan untuk mengusir Alang Pardosi dan mengambil alih pemukimannya di Si Pigembar. Sebuah kudeta terjadi. Alang Pardosi kemudian mendirikan pemerintahan “in exile” di Huta Ginjang, kota yang baru dibangunnya.
Namun ada pembalasan dari pihak raja yang terusir. Saat kepemimpinan Si Purba pemukiman dirundung kelaparan. Raja yang sah, Alang Pardosi, diminta kembali untuk mengobati keadaan. Namun dia menolak dan meminta supaya si Purba membuatkannya rumah di Gotting, sebuah bukit antara Pakkat ke Barus, bukit tersebut dibelah oleh sebuh jalan yang menyempit di antara dinding batu napal yang keras, sekita lima kilometer dari Pakkat menuju Barus, di atas sebuah jalan sehingga semua orang yang ingin melalui jalan tersebut harus lewat di bawah rumahnya. Kedudukannya di persimpangan jalan-jalan penting memberi kekuasaan besar kepada Alang Pardosi yang menjadi raja yang paling berkuasa dari raja-raja Negeri Batak. Si Purba, kemudian, tinggal di tanah yang dibuka ayahnya yaitu Tanah Rambe atau Pakkat.
Jadi dalam kronik, Raja Alang Pardosi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri garis keturunan baru. Proses ini berlanjut terus seusai dia wafat. Kedua anaknya, dari istri kedua puteri Aceh; Pucara Duan Pardosi dan Guru Marsakot Pardosi berpisah dan pindah ke arah yang berlainan supaya tidak bertikai.
Pucara Duan tinggal pindah ke arah pantai dan menetap di daerah Tukka yang pada abad ke-19 merupakan pusat besar untuk penghimpunan persediaan kapur barus dan kemenyan dan dari sana dibawa ke Barus.
Guru Marsakot pindah lebih dekat lagi ke tepi laut, ke suatu tempat yang dinamakan Lobu Tua. Di sana dia berjumpa dengan komunitas Tamil dan Hindu yang kapalnya terdampar. Guru Marsakot dijadikan raja mereka berdasarkan tuntunannya bahwa keluarganya mempunyai tanah tersebut. Maka tanah tersebut berkembang menjadi negeri yang makmur dengan nama Pancur atau Fansur menurut istilah Arab dikenal juga bernama Fanfur, yang didatangi orang India, Arab dan Aceh untuk berdagang.
Kedua cabang keluarga tersebut tetap berhubungan sampai dalam generasi berikutnya. Maka ketika anak Pucaro Duan, Raja Tutung (Raja Tuktung), terlibat dalam perselisihan dengan anak dan pengganti Si Purba, cabang keluarga dari Lobu Tua datang membantunya.
Saat Guru Marsakot wafat, ia digantikan oleh anaknya, Tuan Namura Raja. Anaknya, Raja Kadir, adalah raja pertama yang menjadi Muslim. Akhirnya Fansur diserang oleh orang “Gergasi” dan penduduk lari menyeberangi sungai untuk mendirikan dua pemukiman baru, Kuala Barus dan Kota Beriang.
Pada masa inilah, seorang putera Pasaribu, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu mendirikan pemukiman di Barus bersama pengikutnya yang datang dari negeri Tarusan, di Minangkabau dan singgah terlebih dahulu di Bakkara. Mereka adalah keturuna Dinasti Hatorusan yang didirikan oleh Raja Uti, putera Tatea Bulan. Saat pemukiman Sultan Ibrahimsyah telah berkembang, dia baru menyadari bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasainya.
Anak dari Sultan Mualif, pengganti Raja Kadir setelah wafat, Sultan Marah Pangsu Pardosi, menggugat Ibrahimsyah yang menetap di negerinya. Namun Ibrahimsyah mengangkat sumpah untuk membuktikan bahwa dialah yang menjadi pemiliknya. Kompromipun terjadi dan didirikan dua pemukian di barus, yang satu di Hulu dan yang lain di Hilir.
Sultan Ibrahimsyah kemudian menikah dengan Putri Sultan Marah Pangsu. Dalam perkembangan politik berikutnya, saat wafatnya Sultan Marah Pangsu, Ibrahimsyah membunuh semua anak laki-laki Marah Pangsu agar dia bisa menjadi satu-satunya raja di Barus.
Ternyata otoritas kerajaan hulu dipegang oleh saudara Marah Pangsu yaitu Sultan Marah Sifat yang telah mengungsi dan membuka wilayah baru bernama Si Antomas (Manduamas?) pada tahun 710 Hijriyah. Marah Sifat berkoalisi dengan Aceh untuk memerangi Ibrahimsyah Pasaribu. Sultan Aceh menyatakan perang kepada penguasa tunggal Barus, Ibrahimsyah pun dipenggal dalam sebuah perang penyerbuan ke Barus pada tahun 785 Hijriyah. Kepalanya dibawa ke Aceh dan Raja Aceh menendang dan menghinanya. Sebagai akibat perlakukan Ibrahimsyah yang marah dan tidak mau menyesal. Namun, karma terjadi kepara penguasa Aceh tersebut dan dia jatuh sakit. Supaya sembuh, dia memutuskan untuk membayar kerugian kepada kepala tersebut. Kepala Sultan Ibrahimsyah dikirim kembali ke Barus dengan kekhidmatan dan upacara kerajaan, diiringi sepucuk surat yang membebaskan Barus dari keharusan membayar upeti kepada Aceh.
Sesudah itu kedua keluarga raja Barus; Pardosi dan Pasaribu, hidup berdampingan selaman beberapa generasi dalam hubungan yang kurang lancar. Marah Sifat digantikan oleh anaknya Raja Bongsu, Sultan Marah Bongsu. Ibrahimsyah digantikan oleh Sultan Yusuf dengan gelar Raja Uti yang kemudian gugur di Aceh ketika membalas dendam atas kematian ayahnya. Dia digantikan oleh Sultan Alam Syah yang mempunyai dia anak Raja Marah Sultan dan Sultan Nan Bagonjong Pasaribu.
Pada masa ini peraturan dan undang-undang negara dikodifikasi. Termasuk adat dan tatacara upacara dan pengangkatan pembesar. Hukum dan undang-undang yang berlaku adalah perpaduan adat Batak, adat Melayu, adat Aceh, adat Hindu dan adat orang Islam. Lebih jelas mengenai detail undang-undang tersebut lihat naskah asli dari hikayat tersebut.
Pada tahun 1050 Hijriyah atau tahun 1644 M, Belanda datang dan meminta ijin untuk bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus.
Kronik dalam buku hikayat ini juga menceritakan bahwa kepemimpinan raja-raja belia dari hulu dengan bendahara (perdana menteri) berasal dari hilir selama mereka belum akil balig. Yang pertama dari bendahara itu ialah Marah Sultan, wali untuk anak Maharaja Bongsu, Raja Kecil. Sultan Maharaja Bongsu sendiri pada tahun 1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya. Pada waktu itu Marah Sultan beristrikan saudari Raja Kecil. Sesudah Marah Sultan wafat, anaknya, Sultan Marah Sihat, memfitnah Raja Kecil; kepada Daulat, raja Minang, diceritakan bahwa Raja Kecil tidak mengenal agama dan tidak mau mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan. Termakan oleh fitnah jahat tersebut, Daulat membunuh Raja Kecil. Pendukung Kesultanan Pardosi, yakni orang-orang marga Manullang mengajak Belanda untuk memerangi Raja Daulat. Dia akhirnya melarikan diri. Meskipun demikian Sultan Marah Sihat menyarankan agar Raja Muda di Hulu Sultan Marah Pangkat Pardosi yang diangkat menjadi pengganti raja dan bukan anaknya sendiri yang bernama Sultan Larangan Pasaribu. Sultan Pangkat dianggapnya layak menjadi raja tunggal sebab dialah yang memegang pusaka-pusaka yang tepat.
Sultan Marah Pangkatpun diangkat menjadi raja pada tahun 1170 Hijriyah. Setelah dia wafat dia digantikan oleh putera mahkota Sultan Baginda Pardosi pada tahun 1213 Hijriyah. Di masa kepemimpinan Marah Pangkat, dia melakukan banyak pembaharuan politk dan hukum. Diantaranya, beberapa peraturan mengenai hak tanah, perbatasan kerajaan dan adat yang berlaku kepada rakyatnya di Barus.
Pada tahun 1194 Hijriyah, perusahaan Belanda hengkang dari Barus karena tumpur dan bangkrut. Beberapa tahun sebelum abad ke-20 mereka kembali lagi.
Raja di Hilir, Sultan Larangan marah dan kecewa dengan sikap ayahnya tersebut. Maka dia meninggalkan Barus dan menetap di Sorkam. Di sana dia menamakan diri Tuanku Bendahara meskipun dia tidak memegang tampuk pemerintahan. Kompetisi kekuasaan antara penguasa Hulu dan Hilir yang digambarkan sebagai pertikaian Barus dan Sorkam berlangsung beberapa generasi. Di Barus, putera Sultan Marah Pangkat yakni Raja Adil, menggantikan ayahnya dan memperkukuh perjanjian-perjanjian yang ada antara Barus dan berbagai daerah Batak pedalaman. Raja Adil diangkat menjadi raja pada tahun 1213 Hijriyah (1789 M).
Pada tahun 1241 H (1824 M) digantikan oleh anaknya sendiri Sultan Sailan Pardosi.
Di Sorkam sesudah Sultan Larangan wafat, saudaranya Sultan Kesyari Pasaribu mengadukan kepada komunitas Batak Pasaribu kedudukannya yang rendah, wewenangnya yang kurang besar dan alat kerajaan yang tidak boleh dipakainya. Dia berhasil, akhirnya dia diangkat menjadi Raja Bukit di Sorkam, meskipun raja Barus tidak mengakui otoritasnya. Sultan Kesyari wafat dan digantikan oleh puteranya Sultan Main Alam. Dia terlibat perselisihan dengan kesultanan Pardosi,
Sultan Sailan yang bergelar Tuanku Raja Barus. Tuanku Raja Barus tidak mengijinkan Sultan Main Alam Pasaribu untuk menggunakan alat-alat dan simbol-simbol kerajaan dalam pernikahannya.
Sultan Pasaribu ini meminta pertolongan politik dengan komunitas Meulaboh (Aceh) yang berdomisili dalam koloni mereka di Kota Kuala Gadang, Barus. Main Alam mendapatkan keinginanya saat dia diakui menjadi raja mereka dan memberinya gelar Tuanku Bendahara. Perang meletus. Antara Pasukan Pardosi dengan Pasukan Pasaribu yang didukung prajurit-prajurit Meulaboh dan Aceh dari Kuala Gadang. Dikisahkan, orang Meulaboh ternyata juga ingin mendapat pembagian kekuasaan di Barus.
Sultan Baginda Pardosi wafat pada tahun 1241 Hijriyah dan digantikan oleh Putera Sultan Sailan. Setelah Sultan Sailan wafat dia digantikan oleh putranya Sultan Limba Tua. Di era ini Belanda sudah mulai berkuasa. Mereka berhasil menduduki Barus dengan mengadu domba antara penguasa Hilir dan Hulu Barus yang selama beberapa generasi saling bunuh-bunuhan walau mereka sudah terikat tali perkawinan satu sama lain. Selama tiga generasi berikutnya Kesultanan Batak yang dipegang oleh Kesultanan Pardosi dari Tukka dan Kesultanan Pasaribu keturunan Kerajaan Hatorusan, Raja Uti, pun akhirnya punah. Kesultanan Pardosi berakhir ditangan generasi terakhir Sultan Marah Tulang yang menjadi raja pada tahun 1270 H atau sekitar tahun 1856.
Kesultanan Pardosi, mulai dari Raja Kadir Pardosi yang masuk agama Islam sampai generasi terakhir berasal dari satu keluarga dan pewarisan tahta yang dipegang oleh satu keluarga. Yaitu orang Batak yang berasal dari Tukka.

DINASTI SINAMBELA (SISINGAMNGARAJA)

SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:

1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907

Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.
Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur).
Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Panglima tersebut yang diangkat sebagai putra mahkota kerajaan dikenal juga sebagai Manghuntal karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak. Ayahnya marga Sinambela, merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang menguasasi berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. Sinambela merupakan raja huta di daerah tersebut. Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal selama bertahun-tahun. Tidak seperti normalnya bayi selama sembilan bulan. Suaminya kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang bayi, dan akan melahirkan setelah empat tahun. Empat tahun kemudian, sang bayi dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar. Dia kemudian dibesarkan di istana Raja Uti VII.
Ketika Portugis pertama sekali menyerang Kerajaan Hatorusan, Panglima Mahkuta atau Manghuntal memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.
Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat muasal leluhurnya.
Transfer kedaulatan Batak dimanifestasikan dalam tujuh simbol kerajaan yang diberikan kepada Manghuntal. Ketujuh simbol tersebut adalah pisau (knife), spear (tombak), sorban atau surban (turban), ikat-scarf, mat (sejenis lapik), jug (kendi) dan gajah putih. Legenda gajah putih ini sebagai lambang kebesaran Raja-raja Uti juga terkenal sampai ke Aceh. Legenda tersebut sekarang ini diabadikan menjadi nama sebuah universitas: Universitas Gajah Putih di Takengon.
Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya, perwakilan dari keturunan Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.
Raja SM Raja XII, sebagai penghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.
Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.
Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M. (Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907).
Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok masyarakat, dia berkoalisi dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara, Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).
Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing).
Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu institusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istana Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkah politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan.
Selain dibidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat kharismanya menanjak.
Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat mitos tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian Manghuntal. Beberapa mitos tersebut adalah:
Divine dan Holy; SM Raja dan keturunannya dianggap sebagai seorang yang mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti dan mempunyai banyak kelebihan.
Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang "yang tidak pernah mati dan tua"-na so olo mate na so olo matua
Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal yang dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih berusia 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.

DINASTI SINAMBELA (Guru Patimpus di Medan)

Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel--ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.
Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II. Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.
Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.
Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi. Orang-orang Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu.
Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh, pernah menguasainya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang dikenal Delhi.
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut tarombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :

Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.

1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperluas kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh pihak Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur'an
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur'an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)
BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.
Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.
Medan sebagai embrio sebuah kota, di era penjajahan Belanda, secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.
Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama "Komisi Pengelola Dana Kotamadya", yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan "Decentralisatie Wet Stbl 1903 No 329", lembaga lain dibentuk yaitu "Afdeelingsraad Van Deli" (Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika "Cultuuraad" (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota. Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.
Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.
Melihat sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa. Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras dan etnis di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan.
Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli. Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.
Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Dalam Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru).
Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Asal kata Deli untuk Kota Medan

Menurut Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang.
Tidak lama sesudah ia datang di Aceh, Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan tujuh laki-laki dari Kekaisaran Romawi Timur yang membikin kekacauan. Dalik berhasil membunuh para pengacau tersebut satu persatu.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya membunuh para pengacau tersebut, Sultan memberinya gelar Laksamana Kud Bintan dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai keberhasilannya dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai Gocah Pahlawan, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh.
Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bagian dari Kesultanan Aceh.
Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M.
Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli, di dalamnya termasuk kota Medan, yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka.
Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu sebab mengapa Medan kemudian disebut Deli. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam "Daghregister" VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.

DINASTI NAGUR (Simalungun & Gayo)

Pada tahun 600-1200 M, Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sorimangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur berada di tangan orang Batak Gayo yang mendirikan kerajaan Islam Aceh.
Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.
Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.
Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.
Terdapat banyak kerajaan di Simalungun dengan dinasti-dinasti masing-masing. Contohnya adalah Dinasti Damanik dan lain sebagainya. Tapi secara umum kerajaan Nagur adalah yang paling awal eksis di Simalungun.
Kerajaan Nagur pernah dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu pada tahun 1200-1508 M. Namun, kerajaan Nagur tetap eksis di hulu sungai Pasai antara tahun 1200-1285. Marah Silu, Raja huta Kerajaan Nagur saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Malik Al Shaleh. Di atas puing-puing kerajaan Nagur tersebut, sang Raja, yang aseli Batak Gayo, berhasil melakukan ekspansi dan mendirikan Kerajaan Samudera Pasai sekaligus menjadikannya sebagai Sultan pertama.
Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.
Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.
Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.
Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo).
Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain sebagainya.
Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping.
Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

DINASTI BATAK (LINGGA)

1. Raja Lingga I di Gayo
a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
b. Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
c. Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga
Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.
Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.
Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.

DINASTI MARAH SILU (BATAK GAYO) DI SAMUDERA PASAI sebagai berikut:

1. Sultan Malik al-Saleh (1285-1296) ada yang bilang (1263-1297)
2. Sultan al-Abidin (1297-1320)
3. Sultan Malik al-Tahir (al-Zahir) (1296-1327) (1320-1383)
4. Sultan Zain al-Abidin (1383-1405), pernah diculik dan selama tiga tahun ditawan di Thailand (Siam)
5. Sultan Shaleh al-Din (1405-1412)
6. Ratu Nur Ilahi (1424-1461)
7. Sultan Muzafar Syah (1461-1497)
8. Sultan Ma'ruf Syah (1497-1511)
9. Sultan Abdullah (1511-1524). Lihat: J.I. Moens, "Rijken der Parfum en specerijen", BKI, 1955

Setelah tahun ini, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Salah satu keturunan Marah Silu, Syarif Hidayat Fatahillah merantau ke Jawa, menjadi penyebar agama Islam mazhab syafii. Dia merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam yang pertama tumbuh dalam skala nasional dan sekaligus pelopor mazhab syafii di Nusantara.

DINASTI BATAK GAYO DI KESULTANAN BARUMUN adalah sebagai berikut:

1. Sultan Malik Al Mansyur putera Malik al-Saleh (1299-1322)
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.
Semua anggota dinasti di atas adalah bersuku Batak Gayo. Saat menurunnya kekuasaan Kesultan Aru, maka pihak Aceh mulai menancapkan hegemoninya di Aru Barumun. Pihak Aceh berkompetisi dengan para bajak laut Eropa di kekosongan kekuatan politik di daerah tersebut.
Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.
Sementara itu, pada tahun 1293-1339, Kerajaan Silo berdiri di Simalungun. Di Pihak lain, dengan dukungan dari Sultan Mansyur Syah I, Sultan Malakka 1441-1467, agama Islam mulai dikenal di Simalungun pada abad-15. Media pengenalan adalah melalui perdagangan dan interaksi sosial antar pedagang.
Orang-orang Simalungun yang di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjungkasau, Bedagai, Pakam, Sungaikarang dan Bangunpurba masuk Islam.
Pada abad ke-20, masyarakat Simalungun menjadi korban kebijakan Devide Et Impera. Beberapa kerajaan diciptakan. Di antaranya, Kerajaan Dolok Silo, Kerajaan Raya Kahaen, Kerajaan Siantar dan Kerajaan Tanah Jawa.
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Banten (Sumber: Ismail Muhammad 1978). Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" di Buntet, Cirebon.
1. Syarif Hidayat Fatahillah gelar Susuhunan Gunung Jati (1512)
2. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan(1552)
3. Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1570)
4. Sultan Maulanan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten (1580)
5. Sultan Abdulmafachir Mahmud Abdul Kadir Kanari (1596)
6. Sultan Abdul Ma'ali Ahmad Kenari (1640)
7. Sultan Agung Tirtayasa Abdul Fathi Abdul Fatah (1651)
8. Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar (1672)
9. Sultan Abdul Fadhal (1687)
10. Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (1690)
11. Sultan Muh. Syifa Zainul Arifin (1733)
12. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750)
13. Sultan Muh. Wasi' Zainul Alimin (1752)
14. Sultan Muh. Arif Zainul Asyikin (1753)
15. Sultan Abdul Mafakih Muh Aliyuddin (1773)
16. Sultan Muhyiddin Zainussolihin (1799)
17. Sultan Muh. Ishak Zainul Muttaqin (1801)
18. Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1803)
19. Sultan Agiluddin Aliyuddin (1803)
20. Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala (1808)
21. Sultan Muhammad Shafiyuddin (1809)
22. Sultan Muhammad Rafiuddin (1813)

Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Cirebon sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" Buntet di Cirebon. Garis turunannya juga mendirikan Kesultanan Kanoman, Keluarga Kecirebonan dan Keluarga Keprabonan, selain Kesultanan Kesepuhan di bawah ini:
1. Sultan Hidayat Fatahillah gelar Sunan Gunung Jati (1479-1568)
2. Pangeran Pasarean/P. Muh. Arifin (1528-1552)
3. Pengeran Arya Kemuning Adipati Carbon I (1552-1565)
4. Panembahan Pakungwati I/P Emas Zainul Arifin (1568-1578)
5. Pangeran Dipati Sedanggayam Carbon II )1578-1649)
6. Panembahan Pakungwati (1649-1662)
7. Sultan Sepuh I Syamsuddin (1678-1697)
8. Sultan Sepuh II Jamaluddin (1697-1720)
9. Sultan Sepuh III Jaenuddin (1720-1750)
10. Sultan Sepuh IV Jainuddin Amir Sena (1750-1778)
11. Sultan Sepuh V Sultan Matangaji/P. Syarifuddin (1778-1784)
12. Sultan Sepuh VI P. Hasanuddin (1784-1790)
13. Sultan Sepuh VIIP. Joharuddin (1790-1816)
14. Sultan Sepuh VIIIP. Raja Udaka (1816-1845)
15. Sultan Sepuh IXP. Raja Sulaeman (1845-1880)
16. Sultan Sepuh XP. Raja Atmaja (1880-1899)
17. Sultan Sepuh XI P. Raja Aluda Tjul arifin Moh. Syamsuddin Nataningrat (1899-1942)
18. Sultan Sepuh XII P. Raja Ningrat (1942-1969)
19. Sultan Sepuh XIII P. Raja Adipati Maulana Pakuningrat SH (1969) (Sumber: Unit Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon)

DINASTI KARO (SIBAYAK)

Kerajaan Haru Wampu berdiri di tanah Karo antara tahun 1200-1508 selama 14 generasi. Pada tahun 1339, kerajaan ini pernah dijajah oleh Milisi Majapahit dari Jawa. Setelah pihak Majapahit diusir, giliran Sultan Ali Mukayyat Syah dari Aceh yang datang untuk menancapkan hegemoninya pada tahun 1508.
Pada tahun 1853, masyarakat Karo bangkit kembali mendirikan Kesultanan Langkat di puing-puing Haru Wampu atas pengakuan dari Sultan Ibrahim Mansyur Syah.
Sementara itu di tahun 914 H/1508M, seorang pemuda Karo/Dusun yang masuk sebagai tentara Aceh dan sudah beragama Islam bernama Manang Sukka mendirikan Kerajaan Haru Delitua. Dia memakai gelar Sultan Makmun Al Rasyid I. Permaisurinya bernama Putri Hijau, saudara perempuan dari Sultan Mughayat Syah.
Angkatan Bersenjata Portugis dari Malakka pada tahun 930 H/1523 M menggempur Kesultanan Haru Delitua. Mereka bergerak dan menyisir daerah yang bernama Labuhan Deli sampai Deli Tua sambil menembaki siapa saja manusia yang hidup di daerah tersebut.
Mereka menggempur pasukan Makmun Al Arsyid dengan persenjataan berat dan artileri. Pasukan Makmun Al Rayid dengan bantuan pasukan dari Aceh bertahan di Sukamulia dan semuanya tewas dalam pembantaian tersebut. Pasukan pengawal istana kerajaan habis dibantai yang terdiri dari semua penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Permaisuri Putri Hijau dengan lima orang putrinya ditawan oleh pasukan keling di bawah tentara Portugis ini. Para kaum keling India ini berasal dari provinsi Goa di India barat. Pasukan tersebut juga didukung oleh orang-orang Macao, Cina. Para putri-putri tersebut menjadi korban kebiadaban perkosaan dari tentara-tentara bayaran tersebut.
Putri Hijau sambil berzikir diikat ke mulut sebuah meriam lalu diledakkan. Tubuhnya hancur lebur tanpa bentuk. Puntung dari meriam Portugis itu menjadi “Keramat Meriam Puntung”, sebuah relik bagi orang-orang Karo Dusun yang muslim.
Pada tahun 1853, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh, mengangkat Wan Usman di Labuhan Deli dengan nama Sultan Usman Perkasa Alam menjadi Sultan Deli yang pertama. Diperkirakan identitas Batak Karo di kerajaan tersebut setelah itu mulai menurun. Identitas Melayu mulai diperkenalkan.
Sementara itu di tanah Karo pegunungan didirikan kerajaan Sibayak oleh pihak Belanda. Sebenarnya di pegunungan Sibayak telah berdiri kerajaan-kerajaan huta yang kecil yang otoritasnya hanya pada penduduk di satu kampung.
Upaya untuk menciptakan Kerajaan Sibayak yang bersatu dimulai oleh Belanda dalam rangka kebijaksanaan Devide Et Impera.
Di sana terdapat kerajaan yang bernama Kerajaan Lingga yang sejak dahulu kala eksis namun pengaruhnya tidak besar. Kerajaan Lingga ini juga ikut serta dalam membentuk komunitas Batak Gayo dan Alas di Aceh.
Nama rajanya di masa Belanda adalah:
Raja Sendi Sibayak Lingga
Raja Kalilong Sibayak Lingga
Keduanya dipilih oleh Belanda dari beberapa raja lingga yang telah eksis berabad-abad tapi dalam bentuk kecil kerajaan-kerajaan desa.
Belanda memutuskan untuk mengkristenkan tanah Karo pegunungan dengan memerintahkan “Nederlandsche Zendings Genootschap” yang kristen protestan kalvinist. Akibatnya kini orang-orang Karo yang Kristen protestan kalvinist tidak mau bergabung, baik itu identitas maupun sosial, dengan orang-orang Toba yang Kristen protestan lutheran dalam HKBP.
Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo. Mereka yang bermukim di tanah Karo pegunungan hingga tahun 1905 tetap masih menganut agama tradisional Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak menganut Kristen Protestan Kalvinis. Sementara itu orang Karo Dusun kebanyakan adalah muslim sejak masa kesultanan Haru Delitua (1508-1523).
Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang muslim yang tidak mencantumkan marganya saat lahir.
Kebangkitan identitas Karo akhirnya terjadi lagi pada era tahun 1950-an. Di mana banyak muslim Karo sudah mengenakan marganya kembali.

DINASTI TANJUNG (Sorkam)

Sejarah marga Tanjung di tanah Batak sangat istimewa. Mereka ini kebanyakan menjadi bangsawan dan kesatria. Dalam sejarah Sisingamangaraja diketahui bahwa orang-orang marga Tanjung menempati posisi panglima daerah militer, seperti Syarief Tanjung, panglima Sisingamangaraja di Dairi.
Sejarah menulis bahwa tahun 1700-an, marga Tanjung dapat mencapai tampuk kekuasaan dan menjadi raja di Sorkam dengan raja pertamanya Raja Junjungan Tanjung Gelar Datuk Bungkuk (Datoek Boengkoek). Sorkam memisahkan diri dari kesultanan Barus, paska konflik keluarga di istana Barus.
Junjungan Tanjung berasal dari Sipultak, Humbang, Toba. Dia berkuasa di Kerajaan Sorkam pada tahun 1757 Masehi. Sebagai sebuah daerah yang otonom dari pengaruh Kesultanan Barus, Sorkam selalu berada dalam bayang-bayang hegemoni raja-raja Barus.Pada awal tahun 1992, dalam sebuah upaya pencarian sejarah, dibentuklah panitia pemugaran makam dan penyusunan silsilah sembilan tarombo di Sorkam. Keturunan Raja Junjungan Gelar Datuk Bungkuk Tanjung bertugas merajut kembali sejarah para raja-raja Sorkam. Namun usaha ini belum tuntas melakukan usaha pencarian jejak tersebut.
Yang berhasil ditemukan dalam pemakaman kuno tersebut adalah sebuah prasasti Raja Janko Gelar Datuk Raja Amat Tanjung, yang wafat sekitar tahun 1269 H. Kemudian makam Muhammad Amin Tanjung, wafat sekitar tahun 1926 M di Laut Sakutra tak lama berselang menunaikan ibadah haji.
Juga ditemukan sebuah nisan tergeletak di semak belukar dalam posisi miring. Besar dugaan, nisan ini adalah nisan raja Sorkam lain yang hidup pada tahun 1645 M. Selain ini ada beberapa nisan lain yang masih dalam tahap identifikasi.

Dinasti Tanjung adalah sebagai berikut:
1. Raja Junjungan Tanjung (1758-1778)
2. Raja Maiput Tanjung Gelar Datuk Tukang (1778-1792)
3. Raja Jangko Alam Tanjung Gelar Datuk Rajo Amat (1792-1806)
4. Abdul Hakim Datuk Naturihon Tanjung Gelar Rajo Amat I (1806-1841) anak pertama dari no. 3.
5. Raja Parang Tua Tanjung Gelar Datuk Amat II (1841-1853) Sejak saat ini kekuasan Sorkam terbagi lima ke masing-masing anak Raja Parang Tua, diantaranya adalah:
6. Raja Dusun Derak Alam Tanjung gelar Sultan Maharaja Lela (1853-1872)
7. Raja Muhammad Amin Tanjung gelar Sultan Hidayat (1872-1915)
8. Raja Muhammad Hussin Tanjung, gelar Sultan Rahmat Alam (1916-1942).

Keturunan raja-raja Sorkam ini kemudian menyebar ke penjuru nusantara paska kepunahan kerajaan. Beberapa ada yang merantau sampai ke Malaysia.
Dalam konflik antara Fakih Amiruddin dan Sisingamangaraja X, seorang panglima bernama Syarif Tanjung dipercaya oleh Sisingamangaraja X untuk mengamankan Dairi. Jenderal Syarif Tanjung menjadi tangan kepercayaan Sisingamangaraja X dalam menghadapi kekuatan Batak Padri yang dipimpin oleh bere Sisingamangaraja sendiri Fakih Amiruddin. Dia dipercaya memimpin sebuah benteng di Dairi. Syarif Tanjung bersama kaum muslim Batak lainnya berseberangan dengan kekuatan muslim Batak dalam kelompok Padri. Hal ini dikarenakan orang-orang Batak Padri ingin memurnikan agama yang dianut muslim Batak yang dianggap banyak menyimpang dan bercampur dengan adat. Konflik ini berkembang lebih luas dalam peta kekuatan kerajaan Batak di satu pihak dan kelompok Padri Batak di pihak lain.
Benteng-benteng kedua belah pihak yang bertikai adalah:
Benteng Silantom di Humbang dipimpin oleh Soaloon Harianja.
Benteng Simangumban, Pahae dijaga oleh Raja Pandikar Siregar dengan anak buahnya Amani Binsar Sinambela seorang teman sepermainan di waktu kecil Fakih Amisuddin.
Benteng Pangaloan di Pahae dipimpin oleh Raja Gading Nainggolan.
Benteng Tanggabatu di Humbang dipimpin oleh Sisingamangaraja X sendiri.
Benteng Paranginan di Humbang dipimpin oleh Raja Amantaras Sianturi.
Benteng Muara dipimpin oleh Ronggur Simorangkir.
Benteng Bakkara dipimpin oleh Putra Mahkota Amandippu Sinambela. Benteng Tamba dipimpin oleh Parultop Sinambela.
Rakyat Batak Muslim yang dianggap sebagai golongan adat juga mendukung kekuasaan Sisingamangaraja X di berbagai tempat. Salah satu putra terbaik mereka telah menjadi panglima Sisingamangaraja X di Benteng Salak Dairi yaitu Panglima Syarif Tanjung, seorang yang menjadi teman dekat Raja. Benteng ini merupakan sistem pertahanan Sisingamangaraja X untuk mengamankan Salak Dairi sebagai ibukota kedua pemerintahan Sisingamangaraja X
Benteng Tanjungbunga dipimpin oleh Raja Baganding Sagala. Benteng Dolok Sanggul dipimpin oleh Raja Humirtok Rambe, seorang Raja daerah Tukka dekat Barus yang sering bertindak sebagai duta besar ke Aceh. Benteng Laguboti dipimpin oleh Raja Sahala Simatupang.
Perang ini dimenangkan oleh Fakih Amiruddin dengan pasukan Padri Bataknya dan mendirikan pemerintahannya dengan ibukota Siborong-borong. Istana pemerintahan Fakih Amiruddin berpusat di Siborong-borong pada sebuah gedung yang setelah kepergian Fakih Amiruddin, tahun 1800-an, istana tersebut menjadi rumah kediaman pegawai Controleur/BB Belanda.
Wilayah kekuasaan Fakih Amiruddin di Uluan, Porsea diberikan dalam tanggung jawab Mansur Marpaung. Mansur Marpaung sendiri selain sebagai panglima pasukan Fakih Amiruddin, juga merupakan putra daerah Porsea. Paska perang, dia menduduki Asahan dan menjadi Tuanku Asahan. Kantor pemerintahan Mansur Marpaung sekarang menjadi sebuah mesjid di Porsea. Di Uluan juga, yang bukan wilayah Mansur, memerintah Alamsyah Dasopang kantornya berada dalam sebuah rumah yang kini menjadi sebuah pasar.
Wilayah Toba dipimpin oleh Idris Nasution dan kantornya berada di Laguboti yang kemudian di zaman Belanda menjadi sekolah pertukangan. Panglima lain, Jagorga Harahap menjadi penanggung jawab daerah Pahae Silindung, dan kantor pemerintahannya berada di Sigompulon yang pada jaman Belanda berubah menjadi HIS/Sigompulon. Di wilayah Silindung yang lain memerintah Raja Gadumbang yang berkantor di Pearaja sebuah tempat milik Jagorga Harahap dalam bisnis garam dan di zaman Belanda dirampas menjadi kantor pusat HKBP.
Panglima yang lain yakni Pemasuk Lubis memimpin sebuah sekolah di bawah pemerintahan Fakih Sinambela di Sipoholon yang sekarang menjadi Sekolah Pendeta HKBP. (Sumber: Tuanku Rao, Ompu Parlindungan).

DINASTI PANE

Berikut adalah Dinasti Pane yang pernah direkam oleh sejarah sejak tahun 1700-an Rulers (title Sutan Gagar Alam)
1790 - 1813 Raja Sati
1813 - 1856 Raja Badiri Sutan Mengedar Alam
1856 - 1880 Sutan Gagar Alam
1880 - 1907 Sutan Mengedar Alam Syah
1907 Tengku Sulung Syahmara
1907 - .... Sutan Gagar Alam Rahmatullah

"Pelabuhan Pane ini dari mana 'banyak kamper bermutu" dikeluarkan, terletak di pantai timur di bawah Perlak dan tidak lain dari Pane." Tampaknya persamaan fonetik dengan Langsa, Tamiang, Kompe, Aru atau Labuhan Deli tidak mungkin, sama juga dengan Kota Cinayang berkembang antara akhir abad ke-12 M dan akhir abad ke-14 M: E. McKinnon, "Research at Kota Cina, a Sung-Yang period trading site in East Sumatra", Archipel, 14, 1977, hal. 19-31.
Salah satu dari dua kuala yang terletak sesudah Tanjung balai, serta sungai yang berkuala di sini (Aek Pane atau Sungai Pane alias Batang/Sungai Barumun) dinamakan Pane. Selain itu, sebuah kampung di sebelah kanan anak sungainya yang pertama, yaitu Sungai Bila, bernama Pane. Mungkin bagian hilir anak sungai ini juga dinamakan Pane karena merupakan salah satu dari perpanjangannya. (Pada 2' 22' U 100' 5' T: Residentien Sumatra's Oostkust…, dimana terdapat tempat-tempat lain yang bernama Pane.
Dalam peta Residentien Sumatra's Oostkust…nama Pane diberikan kepada kuala dan bagioanm hilir Batang atau Sungai Barumun yang bermuara dengan Sungai Bila. Hal yang sama dalam Atlas van de gewesten der buitenbezittingen, peta Tropisch Nederland, Batavia, 1938, lembar 2a, sungainya dinamakan Sungai Barumun sampai Kuala Pane. Sama juga dalam Indonesia 1:250000, lembar "Tanjung Balai", 1960. Diduga nama Pane diberikan untuk bagian hilir Sungai Bila, yang kadang kala juga dinamakan Pane, serupa dengan bagian hilir Sungai Barumun dalam beberapa peta. Di Kampung Pane, jarak antara kedua sungai ini beberapa kilometer saja.
Dalam suratnya kepada Jacques I, Iskandar Muda mencatat Pane sebagai jajahan Aceh di pantai timur Sumatra. Sedangkan dalam Negarakertagama terdapat nama Pane. Juga dalam prasasti Rajendra I di Tanjavur mencatat "Pane di tepi Sungai" di antara kota atau daerah yang diserang oleh tentara Cola pada tahun 1025 M. (Lombard, hal 98-99). Lokasi ini diduga bernama Kuala Pane. Sekarang di bagian selatannya terdapat pelabuhan Labuhan Bilik. Namun hipotesisi tentang lokasi ini, sebagaimana sering diusulkan, diragukan karena di bagian hulu sungai Barumun, di dataran tinggi Padang Lawas, terdapat sekumpulan candi dan kebanyakan terletak di tepi sungai yang juga bernama Pane (Batang Pane), anak Sungai Barumun.
Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda pengaruh Jawa, candi-candi ini diduga dari abad ke-10 hingga abad ke-14 M dan merupakan peninggalan dari sebuah kerajaan besar beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman.
Nama Pane juga terdapat di tempat lain: Sebuah Kota dan sebuah daerah di sebelah timur Danau Toba dan daerah pedalaman kota Tanjung Balai. Wheatly berpendapat bahwa asal kata nama Pane berasal dari bahasa Tamil yang berarti "ladang", tapi ini hanya merupakan sebuah usulan saja. Pane juga nama marga orang Batak di Pantai Barat dan karena Padang Lawas lebih dekat dengan pantai ini, R. Mulai mengusulkan bahwa Pelabuhan Sibolga dan Barus merupakan pintu masuk kerajaan tersebut yang berpusat di daerah candi-candi.
Jelas bahwa Padang Lawas dahulu berhubungan dengan pantai barat. Mungkin daerah Toba di selatan Danau Toba, tercatat dalam NegaraKertagama, berperan juga dalam hubungan ini. Namun menurut Prasasti Tanjavur, "Pane terletak di tepi sungai", dan kurang dari seabad kemudian teks kita mencatat Pane sebagai pelabuhan. Akhirnya pada abad ke-17, sebuah surat dari Iskandar Muda menyebut Pane dalam daftar tempat-tempat di pantai timur, di antara Tanjung Balai dan Rokan.
Pelabuhan Pane dahulu benar-benar dekat dengan kuala sungai Pane dan kemungkinan besar terletak di tempat yang dinamakan Pane sekarang. Hipotesis ini diperkuat oleh keadaan dimana sebuah anak sungai Barumun di bagian hulu, Sungai Barumun dan kualanya dinamakan Pane. Mengenai Padang Lawas tidak ada halangan bahwa itu termasuk dalam sebuah kerajaan yang bernama Pane dan berpusat di pantai atau sebaliknya berpusat di daerah pedalaman dan berpintu di pantai.
Daerah-daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara pelabuhan Barus dan pelabuhan Pane, yakni Bukit Barisan. Maka adanya dua pelabuhan utama untuk kamper yaitu di tepi Lautan Hindia dan tepi Selat Malaka adalah akibat dari konteks geografi saja.
Namun untuk mengekspor kamfer dalam jumlah yang besar pada abad ke-12 M, Pane semestinya berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di bagian hulu Sungai Barumun, dan kalau sungai ini juga dinamakan sungai Pane, maka sungai inilah yang sejak dahulu merupakan jalan utama untuk kamfer dan bahan-bahan dari pedalaman ke pantai timur.
Ini mungkin konfirmasi bahwa kerajaan Pane meliputi seluruh daerah aliran sungai Barumun termasuk Padang Lawas. Walaupun Pane tidak disebut kemudian dalam sumber Cina, termasuk Ma Huan, tidak berarti kerajaan ini telah hilang seperti yang ditunjukkan oleh Millsm karena Ma Huan juga tidak menyebutkan kerajaan Lampung dan Kampar.
Pane juga merupakan salah satu dari dua kerajaan yang tidak dicatat oleh Marco Polo, mungkin karena Pane terletak di salah satu daerah yang tidak dikunjunginya. Namun kemerosotan Sriwijaya sejak abad ke-13 M akibat serangan Siam dan Jawa, serta hilangnya kekuasaan atas kawasan selat, pasti juga melemahkan Padang Lawas-Pane.
Berdasarkan sebuah prasasti dari abad ke-14 yang ditemukan di bagian hulu daerah aliran sungai Rokan, yang dipercayai diperuntukkan bagi seorang tuan tanah yang tunduk kepada Raja Adityawarman dari Minangkabau, diduga bahwa zaman itu di Padang Lawas masih terdapat sebuah pusat kerajaan.
Pada abad ke-16 sewaktu Malaka dan Aceh berkembang, Sulayman al-Mahri mengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamfer di seluruh Sumatera, yakni Fansur dan tidak mencatat Pane di antara Aru dan Rokan yang dideskripsikan sebagai dua pelabuhan kecil. Pires meletakkan kerajaan Arcat, yang tunduk pada Aru, di daerah yang diduga bernama Pane pada zaman sebelumnya. Selain itu, Pires menambahkan bahwa Aru menyediakan sejenis kamfer yang kualitasnya lumayan dan berbagai jenis barang. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau sedangkan sebagian lainnya dibawa ke Fansur, seperti jaman dahulu. (Cortesao hal 148).

DINASTI TARUMON di Singkil

Sebuah kerajaan Batak di Singkil. Bendera Kerajaan tarumon inilah yang mengilhami bendera Dinasti Sisingamangaraja.

.... - .... Bujang I
.... - 1817 Lebei Dapha Tunku Singkil
1817 - 1833 Bujang II
1833 - 1884 Seri Muda Paduka Alam Sultan Mansur Muda bin Bujang
1884 - 1893 Sultan Iskandar Muda bin Sultan Mansur Muda
1893 - 1910 Biju Muda Nasiruddin
1910 - 1927 Leh
1927 - .... Husain

Sabtu, 18 April 2009

Buku Tuanku Rao

Judul Buku:
Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao
Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak
Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP) Siregar
Editor: Ahmad Fikri A.F.
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan I, Juni 2007
Isi buku: iv + 691 halaman-Hardcover

Pada awalnya buku ini diterbitkan oleh Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta pada tahun 1964 dan sempat ditarik dari peredaran.
Buku yang mengungkap sisi gelap Gerakan Paderi ini kembali diterbitkan oleh Penerbit LKis pada Juni 2007.

Buku ini memang kontroversial sampai-sampai Buya Hamka menulis dalam bukunya "Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao" (Penerbit Bulan Bintang, 1974) menuding 80 % bohong isi buku MOP dan sisanya diragukan kebenarannya.Pasalnya, setiap kali Buya Hamka menanyakan data dan fakta buku itu, MOP selalu menjawab, "Sudah dibakar".
Buku Greget Tuanku Rao (Jakarta, September 2007) tulisan Basyral Hamidy Harahap pun menambah polemik Tuanku Rao.

Menurut pengakuan MOP pada halaman 358 buku ini; Tuanku Lelo (Idris Nasution) adalah kakek buyutnya. MOP memperoleh warisan dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman.

Buku Tuanku Rao karya MOP terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis MOP mengajak kita kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.
Penulis MOP meninggal pada tahun 1975.

Anda penasaran dengan buku kontroversial ini ..?
Berikut cuplikannya:

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, pemimpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding satu lawan satu sesuai dengan tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu:
"kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya"

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao), memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibukota Dinasti Singamangaraja

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan dijual kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai dengan hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir. Namun, dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah danau dan kemudian dibuang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai Sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu khawatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syiah. Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengislamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiul awal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat khitanan dan syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Khattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak :))

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap Benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan Benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulae) dan Tuanku Marajo (Harahap)

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7—4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun, setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

Rabu, 15 April 2009

Tahap tahap Upacara Kematian Saur Matua

Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan .

Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna
sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya.

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:

1. Acara Sebelum Upacara di Mulai
Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan
sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.

Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan di kampung tersebut).

Kemudian acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi berlaku.

Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru (suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada hadirin. Setelah selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor) untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha (teman semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang hadir). Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang pertama oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.

Setelah selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang.

Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap dengan suku-sukunya kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan diselimuti dengan kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari teman semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan.

Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu lakilaki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan. Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan.

2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua
Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian Saur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :
1. Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman).
2. Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.

1. Upacara di jabu (di dalam rumah)
Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.

Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis.
Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).

Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.

Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.

Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.

2. Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.

3. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.

4. Gondang SOmba-sOmba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan Meletakkan ulos ke bahu Masing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.

5. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali. Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.

Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan menortor semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.

Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulus sampe, ulus panggabei.

Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalamdalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal berdiri di sebelah kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti mayat.

Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara tulang dengan bere (kemenakannya). Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.

Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari.

Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai (pagi hari).

1. Upacara di jabu menuju maralaman
Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).

Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.

2. Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.

Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.

Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup.
Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.

Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.

Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.

Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.

Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.

3. Acara Sesudah Upacara Kematian.
Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:
Kepala untuk tulang
Somba-somba untuk bona tulang
satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
Leher dan sekerat daging untuk boru

Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan.

Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang.

Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.

Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.

Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat, maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.